Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas
dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen,
manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama
sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini,
yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral
manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam
segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung
akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan
bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi
etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka
tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan
pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi
hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam
beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan
pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun
terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan
lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya
berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa
aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan
moralitas.
Widyahartono
(1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis
dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya
sebagai berikut:
Bisnis adalah suatu bentuk
persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-pribadi. Bisnis
diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan
yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang yang mematuhi aturan moral
dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang
menghasilkan segala cara.
Kalau suatu praktek bisnis
dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan
karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru
menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran
mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang “wajar”
menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau
menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan
mematikan usaha mencapai laba.
1.
Subjek
dan Objek
PT
Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo (yang merupakan salah satu anak perusahaan
tekstil raksasa PT SRITEX).
Kasus
pencemaran lingkungan dan limbah yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan bau
tidak sedap yang menggaggu kehidupan warga sekitar.
Warga
Sukoharjo, terutama 3 desa terdekat dengan PT RUM yakni Desa Plesan, Gupit dan
Celep, Kecamatan Nguter.
2.
Permasalahan:
Melawan
'Bau Tahi' PT RUM Berujung Bui
Penangkapan dua
orang warga dan satu aktivis mahasiswa atas dugaan pengrusakan pabrik PT Rayon
Utama Makmur (PT RUM), Sukoharjo, oleh kepolisian daerah Jawa Tengah (Jateng)
mendapat kritik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI) Jawa Tengah dan aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Solo
Raya.
Dalam hal ini,
Polisi dinilai kurang cermat dalam melihat duduk persoalan yang menyebabkan
terjadinya kericuhan di depan pabrik PT RUM hingga berujung pada insiden
pengrusakan dan pembakaran.
"Siapapun,
terutama Kepolisian, seharusnya mencermati dan melihat kasus ini secara utuh.
Tentunya, tidak ada niatan dari mahasiswa maupun warga terdampak untuk
melakukan tindakan di luar batas kewajaran. Mahasiswa dan warga terdampak hanya
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah
dijamin oleh Konstitusi," kata Ivan Wagner, pengacara Publik LBH Semarang
dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (9/3/2018).
Penyebab utama
terjadinya kericuhan tersebut, menurut Ivan, adalah pembiaran pencemaran
lingkungan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukoharjo dan pihak kepolisian.
Padahal, warga
telah melakukan protes atas pencemaran tersebut sejak PT RUM beroperasi dan
mengeluarkan bau busuk hasil limbah sejak Oktober 2017. Pencemaran lingkungan
serta dampaknya bagi kesehatan warga di sekitar pabrik itu juga telah dikuatkan
oleh hasil investigasi Tim Independen Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukoharjo
pada 18 Februari 2018.
"Tindak
pidana pencemaran lingkungan oleh PT RUM dan sebab-sebab kemarahan warga
lainnya, seperti adanya pemukulan terhadap warga, masih diabaikan. Padahal,
warga sudah pernah melaporkan sebanyak dua kali dugaan tindak pidana lingkungan
hidup yang dilakukan PT.RUM yaitu ke Polres Sukoharjo maupun Polda Jateng,
namun belum jelas tindak lanjutnya," tambah Ivan.
Sebaliknya, polisi
justru bertindak cepat dalam memproses tindakan pengrusakan aset milik PT RUM
yang terjadi pada 23 Februari lalu. Dalam waktu kurang dari sebulan, polisi
telah menangkap tiga orang yakni Muhammad Hisbun Payu (Is), Kelvin Ferdiansyah
Subekti dan Sutarno.
Is, adalah aktivis
mahasiswa dari Universitas Muhammad Surakarta, sementara Kelvin dan Sutarno
ialah warga asli Sukoharjo. Ketiganya ditangkap dalam rentang waktu yang hampir
bersamaan yakni 5-6 Maret lalu.
3.
Analisis:
Kami dari kelompok
2 akan memberikan analisis mengenai kasus pencemaran lingkungan oleh PT RUM
yang limbah nya menyebabkan tidak hanya kerusakan lingkungan hidup seperti yang
umum terjadi pada kasus pencemaran lingkungan, tetapi sudah sampai di tingkat
mengganggu kehidupan warga sekitar hingga ada nya intimidasi dan proses hukum
terhadap pihak-pihak yang melawan perusahaan.
a. Apabila
dilihat dari sudut pandang etika bisnis, apa yang dilakukan PT RUM, jelas
merupakan sebuah tindakan amoral manajemen yakni para manajer yang dianggap
kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya
langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain yang dalam
kasus ini adalah masyarakat sekitar. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan
bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi
etika atau belum. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya
pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam
beraktivitas.
PT RUM sebagai
sebuah perusahaan dinilai wajar mengejar laba dan menekan biaya operasional
perusahaan. Akan tetapi, tindakan perusahaan yang abai terhadap efek pencemaran
lingkungan yang diakibatkan limbah industri yang menyebabkan rusaknya
lingkungan sekitar dan bau yang mengganggu kehidupan masyarakat sangat
disayangkan mengingat sebuah perusahaan seharusnya menerapkan prinsip Good Governance yang tidak hanya
berfokus pada peningkatan laba, tetapi juga Corporate
Social Responsibility.
b. Kalau
ditelusuri lebih lanjut mengenai pengurusan izin AMDAL perusahaan, ada prosedur
yang disalahi. Menurut Bambang, yang ditunjuk mewakili warga dalam pertemuan
warga dengan jajaran musyarawah pimpinan daerah (Muspida) Kabupaten Sukoharjo
dan perwakilan PT Rayon Utama Makmur di Balai Desa Gupit pada 9 Januari 2018,
persoalan bau bersumber dari karbon disulfida yang diproduksi PT RUM. Gas
berbahaya itu sama sekali tak dibahas dalam dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL) saat PT RUM resmi mendirikan pabrik pada 2012. Padahal,
menurut Bambang, produksi karbon disulfida dalam pabrik serat rayon diatur
lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 7/2012.
“Sesuai peraturan
menteri lingkungan hidup dan kehutanan itu, syarat dasar yang tidak terpisahkan
adalah penyediaan continuous emission monitoring systems (CEMS),” kata Bambang
merujuk sistem pemantauan emisi limbah udara berbasis komputer.
Pernyataan Bambang
Hesti Wahyudi benar belaka bila izin pendirian pabrik karbon disulfida tak
tercantum dalam AMDAL PT RUM, yang terbit pada Desember 2015. Dalam dokumen
AMDAL perubahan yang diperoleh redaksi Tirto, PT RUM tidak secara eksplisit
menjelaskan akan memproduksi senyawa karbon disulfida. PT RUM hanya
mencantumkan tempat pembuatan karbon disulfida akan berada dalam area pabrik
dan berdiri di atas tanah 1,1 hektare di Desa Plesan.
Dalam surat Dinas
Lingkungan Kabupaten Sukoharjo ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara pada
2 Mei 2018 mengenai pengaduan masyarakat soal limbah udara PT RUM, tak disebut
izin lingkungan pendirian pabrik karbon disulfida. Surat itu hanya mencantumkan
legalitas dan perizinan PT RUM sebagai pabrik serat rayon.
Padahal dalam
AMDAL, PT RUM memproduksi karbon disulfida di dalam area pabrik. Bahkan
gara-gara produksi karbon disulfida ini, PT RUM diganjar sanksi tambahan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian menilai PT RUM
melanggar karena tak memasang sistem EMS dalam cerobong asap. Alat ini menjadi
pendeteksi pencemaran udara.
c. Tindakan
represif perusahaan dan kepolisian yang dinilai janggal dalam mengusut kasus
limbah PT RUM.
Sukemi Edi
Susanto, ditangkap oleh polisi karena dituding merusak pabrik. Sukemi kini
mendekam di balik penjara Kedungpane, Semarang, setelah divonis 2 tahun 3 bulan
pada awal Agustus lalu oleh PN Semarang. Pada pertengahan Oktober kemarin,
status vonisnya dinaikkan 4 tahun penjara dalam sidang banding oleh Mahkamah
Agung di Jakarta.
Sejak Oktober 2017
hingga Februari 2018, lalu berlanjut dari akhir September kemarin, aroma mirip
tangki septik bocor menjadi santapan bagi warga. Jika baunya menyengat bisa
sampai ke dalam rumah dan bahkan bikin pusing dan mual-mual. Warga dan
anak-anak bahkan harus memakai masker saban belajar di sekolah.
Bau yang tercium
berbeda-beda—terkadang seperti bau kopi Luwak yang baru diseduh, pernah tercium
seperti petai busuk, tapi yang lebih sering bak bau tahi—membuat Sukemi bersama
warga lain di sekitar pabrik menuntut PT RUM menghentikan operasionalnya.
Di bawah Forum
Komunikasi Masyarakat [Desa] Plesan, Gupit, Celep, Pengkol (FKM-PGCP), Sukemi
rajin melayangkan protes di depan pabrik PT RUM sejak 27 Oktober 2017. Saban
aksi, Sukemi jarang absen. Ia bahkan mengajak Veny dan ketiga anaknya ketika
ratusan warga di Kecamatan Nguter menggelar aksi di depan kantor parlemen
daerah Sukoharjo.
Belakangan, kesal
karena tuntutan warga diabaikan para politikus daerah dan Bupati Wardoyo
Wijaya, mereka mendatangi pabrik PT RUM pada akhir Februari, yang berbuntut ricuh.
Sukemi, bersama empat warga lain, dituding sebagai pelaku perusakan fasilitas
PT RUM.
Sukemi ditangkap
bersama Brillian Yosef Nauval, Kelvin Ferdiansyah Subekti, Sutarno, dan
Mohammad Hisbun Payu. Dua warga lain, Bambang Hesti Wahyudi dan Danang Tri
Widodo, ditangkap dengan pasal karet lewat UU ITE karena menimbulkan sentimen
SARA.
Mereka termasuk
yang paling vokal melawan pencemaran limbah cair dan udara dari PT RUM, yang
kepemilikannya terkait dengan keluarga pendiri PT Sri Rejeki Isman Tbk alias
Sritex, hanya sekitar 20 menit dari lokasi PT RUM, juga sama-sama di Sukoharjo.
Sritex adalah perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang berdiri pada 1966
di Solo, yang memproduksi seragam militer untuk TNI maupun negara-negara
adidaya termasuk NATO.
Tindakan warga
seharusnya tidak ditanggapi dengan sebuah pelaporan ke polisi, PT RUM
seharusnya introspeksi diri dalam memperbaiki pengolahan limbah sehingga tidak
ada konflik antara warga dan perusahaan. Apalagi ditambah dengan keganjalan
pengusutan oleh kepolisian yang dinilai berpihak pada perusahaan dibanding
warga sekitar.
4.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar