Tragedi
Semanggi
Perjuangan Orde Reformasi dimulai dengan
adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997.Dengan dipelopori
mahasiswa, rakyat Indonesia mulai melawan ketidakadilan yang dilakukan
Pemerintahan Orde Baru dan memperjuangkan demokratisasi di Indonesia.
Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan harapan
bahwa demokratisasi telah dimulai.Namun patut disayangkan bahwa krisis ekonomi
sejak tahun 1997 belum membaik.Begitu juga permasalahan penegakan hukum,
keadilan, dan kepastian hukum yang masih jauh dari yang diharapkan
masyarakat.Akibatnya, terjadi beberapa kali kesalahpahaman / bentrokan antara
mahasiswa dan masyarakat dengan aparat pemerintah baik TNI maupun Polri serta
terjadi peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi
manusia.Kesalahpahaman dan bentrokan yang terjadi telah mengakibatkan jatuhnya
korban dari pihak mahasiswa serta masyarakat maupun TNI / Polri.
Dan tentunya para pembaca pasti
ingat salah satu tragedi pelanggaran yang berat adalah Tragedi Semanggi bukan? Tragedi
Semanggi menunjuk kepada 2 kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan
agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya
warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I
terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia,
yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi
Semanggi II terjadi pada 24
September 1999
yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta
menyebabkan 217 korban luka-luka.
Tragedi I
Pada
bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia
mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya
dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak
kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak
percaya dengan para anggota DPR/MPR
Orde Baru.
Mereka
juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan
pemerintahan dari orang-orang Orde Baru. Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang
Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/TNI. Sepanjang
diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap
hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia.
Pada tanggal 12 November 1998
ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari
segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus
ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga
Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan
mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan
puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman
Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia
meninggal dunia.
Esok harinya Jum'at tanggal 13
November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan
mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah
ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh
aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin
banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa
bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan
menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa
yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 15:00, kendaraan
lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri,
sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan
membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu
juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah
satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma
mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang
merupakan korban meninggal pertama di hari itu. Mahasiswa terpaksa lari ke
kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan
merawat kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan
oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus
Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas
Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan
saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus
Universitas Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari
sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan
Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya.
Semakin banyak korban berjatuhan
baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan
masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru
dan gas airmata. Sangat dahsyatnya
peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban
lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana,
Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian
Nikijulong, Sidik, Hadi. Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan
berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai
Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat
keamanan dari POLRI,
seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa
dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka,
sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras,
tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat
keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia,
termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru
nyasar di kepala.
Tragedi II
Pada tanggal 24
September 1999,
untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi
mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk
mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak
kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan
negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam
jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. karena ini
menentang tuntutan mereka untuk menghilangkan dwifungsi ABRI/TNI. Karena hanya
dengan berdemonstrasi, mereka yang mau mensahkan Undang-Undang tersebut baru
berpikir, sebab tampaknya mereka sudah tak punya hati nurani lagi dan entah
bagaimana membuat mereka peduli dengan bangsanya daripada peduli terhadap perut
buncit mereka itu yang duduk di kursi parlemen menggunakan logo Pancasila
dengan bangganya di jas mereka. Lagi dan lagi Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap
meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
Kasus ini,
menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen menyebut seperti
sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia menurutkan begini; ''Yun Hap
ditembak pukul 20:40 oleh konvoi aparat keamanan yang
menggunakan sekurangnya enam truk militer yang mendekat dari arah Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias
melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu sirine
tanpa suara. Sejak masuk area jembatan penyeberangan di
depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata
melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul
tembakan dari truk-truk berikutnya.'' Berdasarkan fakta
di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan lain selain kendaraan
aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu masih ditutup untuk umum.
Lagi pula truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi
tidak mungkin ada mobil lain yang mengikuti.
Kini akibat
peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah
Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya),
Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya),
Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
Dan pada
akhirnya Penanganan dan
penyelesaian kasus Trisakti-Semanggi tidak pernah mendapatkan kepastian
hukum.Sepertinya keberadaan UU HAM, Komnas HAM, dan KPP HAM tidak berdaya
mengungkap tragedi kemanusiaan tersebut.Ironisnya justru memunculkan perbedaan
pendapat.Apakah tragedi berdarah ini termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan.
Sungguh pedih bagi mereka yang terus mengikuti perjuangan mahasiswa karena
setiap kali mereka berjuang mereka harus mengorbankan jiwa mereka demi tegaknya
demokrasi di Indonesia.
Kini Tragedi Semanggi mungkin telah menjadi sejarah. Namun
jangan sampai penegakan hukum di Indonesia juga hanya menjadi cerita masa
lalu.Jangan sampai suatu tindakan pelanggaran terlepas dari kaca mata hukum
hanya karena tertutup oleh isu-isu yang sedang hangat beredar atau adanya
kepentingan tertentu.Aparat penegak hukum harus terus melebarkan sayapnya demi
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.Itu tugas yang jelas diamanatkan pada
mereka.
Referensi
: